Jumat, 11 Maret 2011

Agama Islam Dan Politik

Sedikit sekali anda akan menjumpai orang yang berbicara kepada anda tentang
politik dan Islam, kecuali anda akan melihat orang tadi memisahkan dengan pemisahan yang sejauh-jauhnya antara politik dan Islam. Ia letakkan setiap makna dari keduanya di sisi yang berbeda. Keduanya menurut sebagian besar orang tidak mungkin dapat bertemu dan berintegrasi. Dari pemahaman inilah kemudian sebuah jam'iyah yang berorientasi ke sana dinamakan jam'iyah Islamiyah, bukan Siyasiyah. Di situ yang ada hanya integrasi spiritual keagamaan yang fidak ada unsur politik di dalamnya.
Anda bisa melihat pada pengguliran undang-undang dan sistem yang ada di organisasi-organisasi islam bahwa jam'iyah (organisasi) tidak membahas masalahmasalah politik.

Sebelum saya mengupas teori ini, baik dengan membenarkan atau menyalahkan,
saya ingin menekankan dua hal penting:

pertama: sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan mungkin juga berseteru.
Mungkin, seseorang disebut politisi dengan segala makna politik yang terkandung di dalamnya, namun ia tidak berinteraksi dengan partai atau bahkan tidak ada kecenderungan ke sana.
Mungkin pula ada orang yang berpolitik praktis (terjun dalam kepartaian) namun ia sama sekali tidak mengerti masalah politik. Atau mungkin ada pula orang yang menggabungkan antara keduanya sehingga ia adalah politisi yang berpolitik praktis atau berpolitik praktis yang politisi pada proporsi yang sama.
Ketika saya berbicara tentang politik praktis pada kesempatan ini, maka yang saya kehendaki adalah politik secara umum. Yakni melihat persoalan-persoalan umatbaik internal maupun eksternal yang sama sekali tidak terikat dengan hizbiyah (kepartaian). Ini yang pertama.

Kedua: sesungguhnya orang-orang non muslim, tatkala mereka bodoh tentang Islam ini, atau tatkala mereka dibuat pusing oleh urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka tidak berusaha untuk Melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha membatasi substansi makna islam pada lingkup sempit Yang menghilangkan semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamnya, Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang sama sekali tidak berguna.

Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum muslimin bahwa
Islam adalah sesuatu sementara masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu suatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang lain yang tidak ada hubungannya sama sekali. Islam adalah sesuatu, dan peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik


Berbicaralah kepadaku atas nama Tuhanmu wahai ikhwan! jika Islam adalah
sesuatu yang bukan politik bukan sosial, bukan ekonomi, dan bukan peradaban, lantas apa Islam itu? Apakah ia hanya rakaat-rakaat kosong tanpa kehadiran hati? Apakah ia hanya lafadz-lafadz sebagaimana yang dikatakan Rabi'ah Al-Adawiyah, "Istighfar yang butuh kepada istighfar? " Hanya untuk hal semacam inikah Al-Qur'an itu diturunkan sebagai aturan yang sempurna, jelas, dan rinci? "Sebagai penjelas bagi segala sesuatu,
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman," (An-Nahl: 16)
(Kepada Mahasiswa, Hasan Al Banna)

Kamis, 10 Maret 2011

Kalam Cinta

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman [yang sempurna imannya] ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al Anfal, 8:2)

Tanda cinta seorang hamba kepada Allah adalah ketika dia takut akan ancaman api neraka. Sedangkan tanda cinta setingkat di atasnya adalah ketika seorang hamba mengharap kenikmatan surga. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa puncak dari segala derajat cinta adalah keinginan yang demikian menggebu untuk dapat selalu menghadirkan Allah di hati. Tekad yang kuat untuk selalu bersama syariat-Nya dalam segenap sisi kehidupan. Cinta yang melebihi segala cinta kepada sang kekasih, harta, keluarga dan sanak saudara. Memposisikan Allah layaknya sang kekasih hati, yang selalu berharap berjumpa dengan-Nya, mendekatkan diri pada-Nya dengan berbagai cara, dan rindu untuk merajut tali kasih serta berjumpa dengan-Nya. Betapa indahnya bercinta dengan Allah, yang dengan cinta-Nya, seluruh isi bumi dan langit pun memuji-Nya.

Kita bisa mengetahui seberapa besar cinta Allah kepada kita adalah dengan bagaimana posisi Allah di dalam hati kita. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, ada dua ukuran cinta Allah kepada kita. “Jika kamu ingin mengetahui seberapa besar cinta Allah kepadamu dan kepada selainmu, maka: pertama. Lihatlah volume cintamu kepada kalam-Nya yaitu Al quran di hatimu. Kedua, seberapa besar volume kenikmatanmu dan keasyikanmu tatkala mendengar lantunan firman-Nya. Sudahkan keasyikan itu melebihi keasyikan para pecandu musik dan nyanyian tatkala nyanyian itu diperdengarkan? Sesungguhnya hal yang wajar, bahwa barang siapa yang mencintai seseorang kekasih maka suara dan pembicaraan kekasih adalah sesuatu yang sangat dicintai. (Ibnul Qayyim)